Monday 25 August 2014

PINDAHAN

PINDAHAN

Untukmu,
Yang menemukan kertas ini.

Hai, maaf mengotori rumah barumu. Kertas ini aku tulis untuk siapa saja yang menemukan dan membacanya. Namaku Dean Maxwell, pemilik rumah ini sebelum menjadi milik keluargamu. Salam kenal, semoga bahagia tinggal disini. Izinkan diriku mengenal kau. Setiap pagi sebelum fajar tiba, aku selalu berada tepat di depan rumah ini untuk mengenang masa lalu. Berat sekali untuk meninggalkan tempat yang telah menjadi saksi bisu goresan kehidupanku belasan tahun silam. Semoga hari esok kau bertemu denganku, aku ingin menunjukkan tempat rahasia di dalam rumahmu sekarang. Tempat yang menjadi titik kerinduanku atas rumah itu. Dan aku pastikan, kau juga akan menyukainya. Selamat berjumpa esok hari, selamat beraktivitas kembali.

Salam kenal,
Dean Maxwell.

           “Dean Maxwell…..,” gumam Evelyn Gwen setelah membaca tulisan dalam kertas yang terselip di bawah kasurnya.
           Apa yang ia pikirkan? Kertas ini sudah terlihat sangat lama, tak mungkin pria bernama Dean Maxwell masih ada. Tapi, apa salahnya kalau esok keluar rumah untuk memastikan keberadaannya. Lagi pula dirinya masih penasaran dengan tempat rahasia di rumah ini. Tapi…
           “AAAAAAAAAAAAA…………..” Terdengar jelas suara teriakan Ivanna―adik Evelyn―dari kamar atas. Demam melanda Ivanna semenjak dua hari setelah kepindahannya ke rumah ini. Itu sudah biasa baginya, adaptasi membawa kawan. Kawan buruk.
           Tubuh Evelyn terdorong hingga menggerakkan kedua kakinya untuk melangkah meninggalkan kamar tidurnya dan bergegas menaiki tangga bertekstur kayu dengan kesan klasik yang kuat. Sebelum kaki kanannya menginjak anak tangga terakhir, kamar Ivanna sudah terpampang jelas di bola matanya. Kembali melangkah beberapa meter, daun pintu yang tak sepenuhnya tertutup terjamah oleh tangan Evelyn hingga terdorong mulus ke dalam. Fokus mata yang semula tertuju pada daun pintu, kini beralih ke dalam mendapati ayah dan ibunya yang sudah lebih dahulu berada di kamar adiknya semenjak teriakan tadi.
           “Mom, ada apa dengan Ivanna?” tanya Evelyn sembari mendekati adiknya yang menangis tersedu-sedu, sepertinya sedang shock.
           Ibunya yang tak sibuk mengurusi Ivanna tak menanggapi pertanyaan lirih itu, ayahnya yang mewakili untuk menjawab. “Seperti biasa…,” ucapnya singkat.
           Seperti biasa? Bukankah biasanya Ivanna selalu berteriak hanya apabila saat mimpi buruk saja? Apa mungkin ini bukan efek dari demamnya? Sepertinya begitu, seperti biasa. Ia tertidur, mimpi akan hal yang menurutnya sangat aneh hingga teriakan tak terkontrol. Yap aneh, seperti khayalannya selama ini. Khayalan itu…
           “Eve, kau bisa ambilkan adikmu ini segelas air mineral?” tanya ibunya meminta tolong sekaligus memotong jalan pemikiran Evelyn.
           “Baiklah, Mom.”
           Evelyn memutar tubuhnya, bergegas menuju sumber air mineral di rumah barunya. Lagi dan lagi, ia merasakan ketenangan saat berjalan di lantai dua ini. Perabot bernuansa klasik selalu membinarkan matanya. Aroma harum kayu menyeringai. Sepertinya, ia sudah langsung bisa mengatakan betah berada di sini.
           Hanya beberapa langkah dari kamar adiknya hinnga melewati kamar orang tuanya, Evelyn sudah mendapati dispenser berbahan dasar kayu yang sudah didesain sedemikian rupa membentuk tangan manusia yang mengadah hingga seolah sedang menuangkan air mineral. Tanpa berpikir lama, ia membantu tangan manusia tak bernyawa itu untuk menuangkan minuman pada gelas yang digenggamnya. Penuh.
           Sebelum tubuhnya kembali berputar menuju kamar adiknya, ia tertegun setelah melihat tulisan yang terukir pada dinding kayu yang berada tepat di belakang dispenser.
Dean Maxwell, 24 Februari 2003  24 Fe……
“Dean Maxwell…..,” gumam Evelyn, menyebut nama itu kembali setelah terhenti pada tulisan yang rusak hingga tak terbaca.
Siapa dia? Mengapa membuatnya semakin penasaran? Apa pria ini sengaja membuatnya mati penasaran? Gila, tak mungkin seperti itu, ia hanya terlalu ingin tahu. Takutnya, ia akan jatuh cinta pada angan-angannya saja. Jangan sampai….
Ketakutan atas pemikiran sendiri sekaligus mengakhiri langkahnya pada ambang pintu kamar Ivanna. Terlihat adiknya yang sudah menenang dari tangisnya. Sepertinya, ia sedang menceritakan mimpi atau khayalan-khayalannya. Seperti biasa, aneh.
Sembari menjulurkan satu gelas air mineral pada ibunya, Evelyn tertegun melihat genggaman adiknya. Sebuah kanvas yang terlukis sketsa wajah seorang pria menjadi fokus matanya saat itu. “Kau yang menggambarnya, Ivanna?”
“Bukan.”
“Lantas?”
“Dia menemukannya, Eve…,” selah ayahnya.
Evelyn menyipitkan mata, tak menoleh pada ayahnya. Memandang tajam adiknya dengan kerutan penasaran pada keningnya. “Dad, aku bertanya pada Ivanna, biarkan dia yang menjawabnya,” sahut Evelyn, “benar kau hanya menemukannya?”
Sejak kecil, Ivanna takut dengan gertakan Evelyn. Hingga sampai sekarang, ia tak berani melawan kakaknya itu. Pertanyaan yang terlontar dari mulut Evelyn terjawab oleh sebuah anggukan.
“Di mana?”
“Aku melihat sosok pria di balik jen….”
“Shut up! Aku tak butuh khayalanmu, aku hanya ingin tahu dari mana kau mendapatkan kanvas itu?” sahut Evelyn, terkesan menggertak.
Ivanna menundukkan kepala, kembali takut dengan gertakan kakaknya. “Terselip di bawah kasur, kak…”
Jawaban yang tak begitu penting untuknya. Tanpa menanggapi, Evelyn merebut halus kanvas itu dari genggaman adiknya. Bola matanya berputar-putar menikmati lukisan di atas kanvas putih itu. Pria berambut hitam menyala sedikit ikal dengan kemeja jeans yang dipadu dengan celana cino coklat dan sepatu boots membuat sketsa pria itu terkesan elegan dan jantan. Seketika, Evelyn terbayang nama Dean Maxwell. Apa itu sosok dirinya? Jika benar, dengan fashion seperti itu, Evelyn masih bisa memastikan kemungkinan pria itu masih ada. Ah… Demi Tuhan, mengapa ia selalu penasaran dengan pria itu? Bodoh, padahal kepastian sudah bisa terlihat besok sebelum fajar tiba.
***
Napasnya terengah-engah, kedua tangannya sudah tak kuat lagi menahan batang pohon yang bertengger. Kepalanya terasa nyeri bersamaan dengan jantung yang berdebar ketakutan menatap ke bawah. Jurang terbalut kabut yang membuat dasarnya tak terlihat seolah akan memakan raganya. Teriak pun tak sanggup, entah kenapa. Tak lama, perlahan batang pohon tak mampu menanggung beban tubuhnya.
KRRRAAAAAAAKKKK!!!
           “Ahhh….”
           Hanya mimpi.
           Apa-apaan ini? Tak sudi kalau kebiasaan aneh Ivanna harus menular pada dirinya. Bukan, jangan sampai… Ini hanya kebetulan, ia yakin betul. Ah… jam berapa ini? Hampir pukul lima? Demi Tuhan, jangan sampai terlambat. Dean Maxwell, tunggu!
           Hanya dengan mengenakan piama, Evelyn berlari tanpa memikirkan apapun kecuali pria itu. Tak waras. Langkah dan angan-angannya terhenti di beranda. Benar, Evelyn mendapati sosok pria yang pawakannya mirip dengan gambar pada kanvas di kamar adiknya tadi malam. Dengan langkah ragu-ragu, ia mendekati pria itu. Berhenti, setelah mendapati pria itu menatap dirinya. Ah, tatapan matanya… Denyut jantungnya mulai tak terkontrol, rasa penasaran semalam terbayarkan. Ia yakin betul bahwa pria itu adalah Dean Maxwell.
           “Hai…,” sapa pria itu.
           Satu kata yang terlontar membuat Evelyn semakin melayang, tingkahnya sudah tak sedap dipandang. Senyuman malu-malu tak tersembunyikan lagi. Oh, memalukan sekali.
           “Hai…,” sapa pria itu kembali sembari menggadangkan tangannya tepat pada depan wajah Evelyn setelah mendapati wanita itu mematung tanpa kata.
           Evelyn terkesiap, ia baru saja sadarkan diri. “Oh, hai… Kau… Dean Maxwell?” ucapnya dengan nada ragu-ragu.
           Pria itu tersenyum kecil. “Yap, pasti kau membaca surat itu…,” ucapnya kemudian.
           “Aku mengagumimu,” ucap Evelyn tiba-tiba, membuat Dean melongo. “Ehm… Maksudku, aku mengagumi lukisanmu, Max!” jelasnya, salah tingkah.
           Dean terkekeh mendengar pernyataan itu. “Hm, terima kasih atas pujianmu…”
           “Tapi sebaiknya, kau tak salah paham dengan ucapan pertamaku, itu murni kesalahan teknis dari mulutku.”
           “Tak akan, jika kau tak salah tingkah…”
           “Sial…”
           Bagaimana tak salah tingkah? Seseorang pria elegan dan jantan berada di depannya sekarang, menyapanya dulu pula. Rambut ikalnya….. Ah, gila sepertinya khayalan Ivanna sudah menular pada diri Evelyn. Terkutuk.
“Lupakan, tak akan kupermasalahkan kembali setelah ini,” ucap Dean, menyela khayalan dalam otak Evelyn.
Tak menanggapi berlebihan, Evelyn teringat akan sesuatu. Ia ingat akan satu kalimat dalam surat dari Dean Maxwell. “Kau akan mengajakku ke tempat rahasia itu, bukan?”
Yap! Tempat rahasia, itu yang membuatnya semakin penasaran.
“Oh, untung kau mengingatkan…,” ucap Dean. “Tapi, kau belum mengenalkan diri padaku.”
Apa? Evelyn tak salah dengar, ia yakin betul. Dean Maxwell ingin mengetahui namanya? Wow… wow… sial… Kembali tak waras. Logikanya, setiap orang pasti harus mengenal satu sama lain sebelum berkomunikasi lanjut. Ah, Evelyn berlebihan, ia mengutuk dirinya sendiri.
Dengan wajah yang pura-pura datar dan terkesan jual mahal, Evelyn menjulurkan tangan kanannya. “Evelyn…,”
“Menyeramkan…,” ucap Dean tanpa menyambut tangan Evelyn.
“Apa maumu?”
“Bersikaplah menjadi dirimu sendiri, berbohong kepada perasaan akan membuatmu terlihat konyol, sist!” Dean terkekeh kembali. Evelyn tak bisa menyembunyikan rasa malu setelah Dean berhasil membaca pikirannya. Benar-benar hari yang memalukan.
“Okay, okay, perkenalkan… Namaku Evelyn, Tuan Maxwell.”
           “Hanya Evelyn?”
           “Evelyn Gwen.”
***
           Libur panjang membuat seluruh keluarganya terlelap dan leluasa menikmati dunia mimpinya lebih lama. Hal itu juga membuat Evelyn berani untuk mengendap-endap memasukkan pria asing ke dalam rumahnya. Apabila ayahnya tahu, bisa mati digantung dirinya. Demi lebih dekat dengan Dean Maxwell, Evelyn rela melakukan segalanya, asalkan masih berlogika walaupun sedikit menyimpang aturan.
           Evelyn mengekor pria itu. Walaupun ini sudah menjadi rumah barunya, pria itulah yang lebih tahu seluk beluknya. Ia mempercayainya, sungguh. Kedua pasang kaki menghentikan langkahnya bersamaan pada suatu tempat di mana malam kemarin Evelyn sudah pernah menginjaknya. Dean Maxwell membawanya untuk berhenti sejenak di depan dispenser.
           “Apa?”
           “Coba kau dorong dinding kayu di balik dispenser itu.”
           Tanpa jawaban, Evelyn melakukan perintah Dean. Kedua tangannya menempel pada tulisan yang tak jelas akhirnya yang terukir pada dinding kayu tersebut. Perlu sekuat tenaga untuk membuatnya terdorong. Dean hanya menyaksikan perjuangannya, sengaja. Perlahan-lahan kayu itu terdorong hingga membuat Evelyn tercengang. Ternyata, bukan kayu biasa, melainkan sebuah pintu yang menjadi gerbang sebuah ruangan gelap di dalamnya.
           Evelyn terlihat ragu-ragu, kemudian ia mengisyaratkan sebuah pertanyaan dengan mengangkat alisnya pada Dean. “Tak perlu takut, aku bukan pengagum kegelapan,” ucap Dean sembari masuk dan menyalakan lampu pada ruangan itu. Terang.
           Terkejut. Sangat terkejut. Sungguh. Ruangan lain bernuansa klasik terbaik yang pernah Evelyn lihat selama hidupnya, ada pada rumah barunya. Lukisan-lukisan indah berpigura terpampang jelas pada dindingnya. Rak buku tanpa satu buku yang tercecer berdiri kokoh di pada sudut ruangan. Meja kayu lengkap dengan kursinya menjadi angan-angan tersendiri untuk bisa melakukan apapun di atasnya. Gitar akustik menjadi pelengkap santapan mata Evelyn.
           “Sempurna! Kenapa kau meninggalkan segalanya di sini? Maksudku, kenapa kau tak membawa kembali perabotnya ke rumah barumu, Max?” tanya Evelyn tanpa menatap Dean karena masih sibuk menjamah berbagai perabotan klasik di dalam ruangan itu.
           Dean kembali tersenyum manis. “Aku ingin memberi kesan sempurna pada rumah ini seperti yang kau ucapkan tadi, sehingga pemiliknya sudi untuk merawatnya, itu saja.”
           “Ya Tuhan, ini jam berapa?” gumam Evelyn, sadar akan waktu.
           Dean mendengarnya. “Tak perlu khawatir, ruangan ini didesain tertutup, tak akan terdengar apapun dari luar. Selain itu, di sini ada tangga yang bisa menjadi jalan pintas untuk keluar masuk rumahmu ini,” jelasnya menenangkan sembari menunjukkan tangga rahasia pada Evelyn, “jika saja kau tak menguncinya.”
           “Pasti aku akan menguncinya, kecuali untukmu, Max…”
           “Buka lah, aku tak bisa lama-lama bersamamu, ada hal yang harus aku kerjakan setelah ini. Aku harap bisa menemui kembali esok hari.”
           “Sama dengan harapanku, Max. Baiklah.”
           Sembari menyaksikan Evelyn membuka kunci pintu penutup tangga rahasia miliknya dulu, Dean mengoreksi kembali dialog wanita itu. “Hei, boleh aku bertanya sesuatu dengamu?”
           “Tak mungkin ku melarang, asalkan kau tak menyatakan persaanmu kepadaku secepat ini, Max,” gurau Evelyn, terkekeh.
           Raut wajah Dean terlihat dongkol. “Sebaiknya kau tak over dramatis seperti itu,” ucapnya kemudian, ketus.
           “Sebaiknya kau tak menanggapinya berlebihan, Max. Apa yang ingin kautanyakan?”
           Wajah dongkol itu berubah cepat setelah sebuah lengkungan bibir menghias wajah Dean, tak bosan ia melayangkan senyuman pada Evelyn sebelum angkat bicara. “Mengapa kau memanggilku ‘Max’?” tanyanya kemudian. “Maksudku, setiap orang selalu memanggil dengan nama awalku, kecuali kau.”
           Evelyn berdiri setelah selesai berkutat dengan kunci, menatap tajam mata Dean, mengakhirinya dengan senyuman sinis. “Mungkin saat ini kau harus tahu, kau baru saja mengenal wanita yang mengagumi perbedaan,” jelasnya sembari mempersilahkan pria itu meninggalkan rumahnya.
           Dean baru saja menjawab setelah menuruni tiga anak tangga. “Dan mungkin kau juga harus tahu, kau baru saja mengenal pria yang baru saja mengagumi perbedaan, Gwen…”
***
           Gwen? Bagian dari nama Evelyn, namun terdengar aneh di telinganya jika terpanggil seperti itu. Salahnya sendiri, ia pura-pura mengagumi perbedaan di depan pria yang baru dikenalnya. Lagi-lagi ia mengutuk dirinya sendiri. Tak masalah jika menjadi kesan tersendiri pada awal pertemuannya dengan pria misterius itu.
           Pria misterius.
           Apalagi yang membuatnya menyebut Dean Maxwell sebagai pria misterius? Rasanya tak ada setelah Evelyn benar-benar menemukan wujud aslinya. Lantas harus menyebutnya sebagai apa? Pria pembaca pikiran? Pria yang hobi menasehati? Atau… Pria tampan idamannya? Ah, sial… Mulai berkhayal, sepertinya penyakit Ivanna benar-benar menular pada dirinya.
           Tak terasa, senyuman terus mengembang jika memikirkan seorang Dean Maxwell. Evelyn tak mampu untuk menahan perasaannya, mungkin benar ia terlalu cepat jatuh cinta dengan pria itu. Murah sekali hatinya, hingga pria yang baru saja ia kenal bisa masuk secepat itu. Bukan… Pasti ada alasan lain, ia yakin betul hanya Dean Maxwell yang bisa membuatnya seperti itu. Nyatanya, dari sekian banyak pria yang mendekati Evelyn, tak satu pun yang bisa mendapatkan lirikan matanya, apalagi hatinya. Begitulah Evelyn, selalu menutup rapat-rapat hatinya hingga tak terbaca oleh siapa pun. Namun, hal ini berbanding terbalik setelah pertemuannya dengan Dean, ia termakan oleh karakter sendiri. Sekuat apapun penutup suatu tempat, pasti tercipta alat canggih untuk membukanya. Kali ini, Dean Maxwell yang menjadi alat canggih itu.
           Sudah hampir satu jam Evelyn berada di ruangan rahasia itu kembali. Namun, Dean belum menampakkan dirinya. Menunggu, sesuatu yang membosankan. Atau jangan-jangan Dean melupakan janjinya? Tak mungkin, surat itu sudah menjadi bukti kedisiplinannya mengunjungi rumah ini. Well, mungkin karena Evelyn terlalu gelisah hingga tak sabar menemui pria itu sepagi ini. Masih jam tiga pagi, dirinya terlalu berambisi. Salah sendiri, apa boleh buat mata tak mampu terpejam apabila sedang gelisah. Okay, kembali menunggu.
           Sembari menunggu kedatangannya, Evelyn baru saja menyadari bahwa banyak hal menarik di tempat ini. Gitar akustik misalnya, ia bisa memainkannya setiap waktu. Sayangnya, Evelyn tak mahir dengan alat itu. Melirik sesuatu yang lain, terhenti pada rak buku di sudut ruangan. Ah… Bukannya Evelyn suka membaca? Hei, itu buku yang tertata rapi bukan hanya pajangan untuk melamunkan seorang Dean Maxwell.
           Evelyn mendorong ke belakang kursi yang didudukinya menggunakan gaya gesek anatara kedua telapak kaki dengan lantai kayu yang dipadu dengan kekuatan tubuhnya bagian belakang. Sudah leluasa untuk berdiri menegakkan tubuhnya sekarang, kakinya melangkah menuju destinasi dalam otaknya. Dengan terampil, tangannya menjamah hingga sesekali menarik beberapa buku untuk melihat judulnya saja. Tak butuh waktu lama, buku berwarna merah menyala berhasil mengalihkan perhatiannya. Evelyn tertarik dengan sampul bukunya.
           “Atlas of Human Anatomy, Sobotta…,” gumamnya mengeja judul buku itu. “Pria itu menyukai pelajaran biologi?” tanyanya dalam hati.
           Biologi. Salah satu pelajaran yang Evelyn sukai, semoga Dean memiliki pendapat yang sama agar ia mendapatkan topik perbincangan pagi itu, pikirnya. Jemarinya yang membolak-balikkan halaman pada buku itu, bekerja sama dengan bola mata yang berputar-putar berkutat dengan kata-kata dan berbagai gambar anatomi tubuh manusia. Ketika beberapa lembar sudah terjamah olehnya, ia mendapati sebuah kertas kecil yang terselip pada satu halaman dalam buku itu. Tertulis sesuatu yang sulit untuk dibaca, sepertinya tinta untuk menuliskannya luntur oleh cairan.
When you try to understand it, I tried……………
           Tulisan apa ini? Apa maksudnya? Mengapa lanjutannya tak terbaca begini? Sudah dua kali ia mendapatkan satu kalimat dengan lanjutan tak terbaca. Evelyn sedikit curiga, jangan-jangan Dean Maxwell menyembunyikan sesuatu darinya. Tak lama setelah berkali-kali membuat kesimpulan sendiri, terdengar suara dari tangga rahasia. Evelyn mendekat ragu.
           Saat kedua matanya sudah hampir bisa melihat lubang yang berisi tangga rahasia, tubuhnya terpental pelan, refleks setelah sebuah kepala manusia muncul. Perlahan-lahan naik membawa bagian tubuh lainnya. Rasa ketakutan Evelyn menguap setelah mendapati bahwa bukan makhluk halus yang berada di depannya melainkan pria tampan idamannya―Dean Maxwell.
           “Astaga, kau rupanya…,” ucap Evelyn, mendengus kesal dengan sedikit kelegaan. “Mengagetkan saja, datang tanpa suara...,” tambahnya kemudian.
           “Ku kira kekagetan itu sudah terbayarkan sekarang…”
           “Maksudnya?”
           “Bukannya kau tak sabar menungguku? Dan―”
           “Sial!”
           Dean terkekeh melihat wajah dongkol Evelyn. Bagaimana tak dongkol? Pria itu selalu tahu apa yang Evelyn lakukan tanpa melihatnya langsung. Namun, itu lah yang menjadi daya tarik tersendiri bagi Evelyn. Dean Maxwell, seorang pria yang peka. Mungkin tak akan ada basa-basi yang bisa membuatnya bosan untuk menunggu semua isyaratnya terjawab jika bisa bersamanya, pikirnya.
           Tunggu! Bersamanya?
           Apa lagi maksud otaknya dengan pemikiran seperti itu? Ah, benar-benar memalukan. Untung saja otaknya tak mampu berbicara. Setidaknya. Walaupun lama-kelamaan Dean Maxwell juga akan memahami diamnya otak Evelyn dengan bahasa tubuhnya sebagai perantara.
           Dean berjalan menjamah perabot-perabot yang sudah lama ia tinggalkan dalam ruangan itu. Mulai dari yang dekat dengannya, jemari tangan kanannya menari indah di atas tuts piano usang miliknya.
           “Berdebu, tak seindah dulu pastinya?” tanya Evelyn di tengah nada ambigu malas dari lima jemari yang menari.
           Seketika jemari itu terangkat mengepal pelan, bersamaan hilangnya nada. Dean melirik dengan sedikit senyuman ke arah Evelyn, kemudian kembali menatap pianonya. “Tak seindah pemiliknya dulu,” ucapnya dengan nada angkuh.
           Pertanyaan itu sedikit menusuk. Blah blah blah… Evelyn bergumam tak jelas seperti sedang berkumur. Pria itu membuatnya semakin kesal, mulutnya lancang sekali. Tapi… Ah, sekali lancang tetap lancang, kesal sendiri, bagaimana bisa jatuh cinta dengan pria seperti itu? Mungkin tak perlu terlihat sempurna untuk membuatnya nyaman, hanya kesederhanaan dan sebuah perbedaan, itu saja.
           Kesederhanaan?
           Apa lagi yang muncul dalam otaknya ini? Ya Tuhan, baru saja ia menybut pria lancang sebagai pria yang sederhana. Bukan, bukan! Evelyn membela otaknya, ia menafsirkan hal lain. Dean Maxwell memang pria sederhana. Mulutnya yang sederhana hingga mudah melontarkan kalimat lancang dengan sederhana pula, itu maksudnya.
           Oh begitu maksudnya. Lantas, apa maksudnya sebuah perbedaan dari diri Dean? Otaknya dipaksa untuk kembali berpikir. Berpikir untuk memahami pria itu, untuk mencari alasan mengapa Evelyn jatuh cinta dengannya, lebih tepatnya. Bukannya, cinta itu selalu datang tanpa alasan? Salah! Melainkan alasan itu tertutup dengan mata yang buta akibat sebuah cinta. Bagaimana bisa kau mencintai seseorang yang tak bisa menjinakkan hatimu? Itulah alasannya. Sudah, kembali lagi dengan sebuah perbedaan.
Ah, bodoh… Evelyn baru mengingatnya, sebuah kalimat balasan dari Dean waktu itu. Pria itu mengatakan bahwa dirinya baru saja mengagumi perbedaan. Ya benar sekali, Evelyn jatuh cinta dengan kalimat itu.
“Kau suka bermain gitar, kan?” sela Dean membuyarkan tafsiran-tafsiran yang seakan memutari kepala Evelyn, wanita itu terkesiap, menenangkan dirinya.
Butuh beberapa detik untuk terlihat normal, Evelyn kembali fokus pada pertanyaan Dean. Ia mendapati Dean menjulurkan tangan yang menggengam gitar pada hadapannya. Evelyn menatap gitar itu, kembali lagi ke atas melihat senyuman dan alis Dean yang dinaikkan, mengisyaratkan untuk meraih alih gitar itu ke tangannya.
Perlahan tangan Evelyn meraih gitar itu. “Tak banyak…,” ucapnya ragu. “Ehm… Maksudku, mungkin… tak sepintar kau memainkannya, Max,” tambahnya, menjelaskan.
“Kau menghinaku, Gwen.”
“Apa aku salah bicara?”
“Sangat. Aku suka sekali melihat wanita yang membawa gitar, apalagi wanita itu mau memetik dan menyanyikan lagu untukku…,” ucap Dean penuh kode. Evelyn mengatur otaknya agar tidak terlihat tinggi hati, padahal kode itu sudah membuat tubuhnya melayang. Kali ini ia berhasil membuat wajah datar. “Itu sebabnya aku membatasi diriku untuk tak berlatih gitar, aku hanya ingin menikmati petikan dari jemari wanita.”
“Benarkah?”
“Hm… Kau mau menyanyikan sebuah lagu untukku?”
Evelyn kembali terdiam. Ternyata benar apa yang ia pikirkan, Dean memancingnya agar mau menyanyikan sebuah lagu untuknya menggunakan gitar itu. Evelyn memang mahir dalam memetik gitar, bahkan beberapa bulan yang lalu baru saja berhenti kursus bermain gitar. Bukan karena hambatan atas sesuatu, melainkan ia sudah tak perlu lagi membutuhkan jasa seorang guru, ia sudah merasa kemampuannya sudah sepadan dengan kemampuan mantan gurunya. Tak percaya? Ada saatnya kau melihat dirinya, menikamati jemarinya, dan mendengarkan nada petikan yang keluar bersama jiwanya, nanti.
Diamnya kali ini adalah untuk mempertimbangkan. Tapi, apa yang perlu dipertimbang-kan lagi? Malah, hal ini bisa menjadi senjatanya untuk membuat Dean terpesona. Setelah itu, dengan mudah Evelyn meraih hati pria itu.
Meraih hati? Gila! Ganas sekali otaknya dengan menyebut kata itu. Ingat, Evelyn… Kau ini wanita. “Okay, tapi dengan satu syarat. How?” sahutnya setelah sadar dari lamunan, seketika mendapatkan ide cemerlang.
“Syarat berlogika. How?” balas Dean, seakan tak mau kalah.
“Sangat berlogika,” sahut Evelyn kembali, tegas. “Aku hanya memintamu untuk menyanyikan lagu untukku―”
“Tak masalah!”
“Wait, Jangan sela orang yang sedang berbicara, Max!” sahut Evelyn lantang, Max terdiam seketika dan mempersilahkan Evelyn untuk kembali berbicara dengan tonjolan dagunya yang dianggukan ke atas. “Bukan sekedar lagu. Maksudku kau harus menciptakan satu lagu untukku. Begitu syaratnya, keberatan?”
“Dengar, Gwen… Sebenarnya aku keberatan sekali dengan hal ini, tak biasa orang menyuruhku, tapi―” ucap Dean terhenti.
“Tapi apa?”
Dean menghela napas, kemudian menegakkan tubuhnya. “Aku harus bertanggung jawab atas ucapanku kemarin, aku harus menjaga harga diriku di atas hal itu.”
Evelyn mengerutkan keningnya, kebingungan. “Ucapan apa? Aku lupa…,” tanyanya kemudian, terkesan angkuh.
“Kau lupa? Aku mengucapkan bahwa kau mengenal seorang pria yang baru saja mengagumi perbedaan. Nah, hal ini sebagai pembuktinya. Aku berusaha untuk menjadi pria yang beda dengan melakukan hal yang tak biasa kulakukan.” jelas Dean. Selama penjelasan, matanya terus menatap Evelyn. Namun, setelah mulutnya tak melontarkan satu kalimat kembali, ia melangkahkan kakinya menuju sudut lain.
Evelyn terkekeh. Bagaimana tidak? Padahal, awalnya Evelyn berpikir pria itu hanya memberikan sahutan tak penting untuk membalasnya. Ternyata, seorang Dean Maxwell menanggapi serius ucapannya kemarin. Hal itu yang membuat Evelyn yakin bahwa Dean adalah pria yang tak membosankan. Sangat yakin. Bumbu cinta atas angan-angannya terhadap Dean menambahkan keyakinan itu. “Tak lupa, hanya saja tak terlalu mementingkannya, Max.” ucapnya ambigu. “Tapi ternyata… Ehm, maksudku… Entahlah… Okay, deal?”
“Deal!” seru Dean tanpa menatap wanita itu. Ia hanya membatin kalimat yang terucap dari mulut Evelyn yang terbata-bata. “Sudah biasa, tak akan seperti itu apabila tak salah bicara,” batinnya. Kemudian, Dean mendongakkan kepalanya hingga mendapati berbagai lukisan abstrak berpigura miliknya, dulu.
Tak lama, telinganya mendengar sesuatu. Dean tak sanggup menahan kepalanya untuk menoleh. Sebuah lagu ‘Home’ dari Michael Buble terdengar jelas hingga berlomba-lomba menusuk gendang telinganya dengan halus. Jemari yang menari di atas kilauan senar gitar, seakan berpelukan dengan suara merdu seorang Evelyn Gwen, membuatnya…....
MICHAEL BUBLE  HOME
Another summer day
Has come and gone away
In Paris and Rome
But I wanna go home

May be surrounded by
A million people I
Still feel all alone
I just wanna go home
Oh, I miss you, you know

And I’ve been keeping all the letters that I wrote to you
Each one a line or two
“I’m fine baby, how are you?”
Well I would send them but I know that it’s just not enough
My words were cold and flat
And you deserve more than that

Another aeroplane
Another sunny place
I’m lucky, I know
But I wanna go home
Mmmm, I’ve got to go home

Let me go home
I’m just too far from where you are
I wanna come home

And I feel just like I’m living someone else’s life
It’s like I just stepped outside
When everything was going right
And I know just why you could not
Come along with me
This was not your dream
But you always believed in me

Another winter day has come
And gone away
In either Paris or Rome
And I wanna go home
Let me go home

And I’m surrounded by
A million people I
Still feel alone
And let me go home
Oh, I miss you, you know

Let me go home
I’ve had my run
Baby, I’m done
I gotta go home
Let me go home
It'll all be all right
I’ll be home tonight
I’m coming back home

*


          
          
          
          
          
          
          


            

Tuesday 9 April 2013

Kleine-Levine


Monoton. Mungkin tidak untuk hari ini, hari di mana guru kelas menulis telah menjanjikan untuk mendatangkan alumni wanita untuk menyampaikan sedikit presentasi untuk adik kelasnya. Levine Roosevelt memainkan jemarinya dengan ketukan berirama dari kelingking hingga ibu jari pada mejanya sembari menunggu janji gurunya. Tubuhnya tersentak setelah mendengar bel masuk berbunyi. Bersamaan akhir bunyi bel, suara ketukan hak sepatu gurunya terdengar. Ah, ini dia.

Wanita paruh baya hadir seperti biasa, membawa kamus tebal dan peralatan menulis lainnya. Wajah Nyonya Rosemary terlihat kusam hari ini, mungkin itu sebuah alasan. Yang membuat curiga, ia tak langsung duduk pada kursinya, melainkan langsung berdiri dan terlihat akan mengucapkan sesuatu. Itu aneh, tak biasa. Levine berharap itu bagian dari janjinya.

“Selamat pagi, selamat menagih janji,” ucap Nyonya Rosemary tiba-tiba, wajar saja peserta kelas menulis bergumam tak jelas. Mereka sibuk dengan ucapan gurunya yang aneh, masing-masing mulut mereka bergumam dengan inti yang sama, ‘janji apa?’

Berbeda dengan Levine yang hanya tersenyum tenang setelah mendengar ucapan gurunya, ia paham dan masih menikmati kerutan pada kening teman-temannya. Saat tersadar Nyonya Rosemary sedang memperhatikan senyumnya, Levine terkesiap. “Janji mendatangkan alumni untuk presentasi, bukan?” tanyanya kemudian. Seketika gumaman teman-temannya terhenti, kini berbalik lagi dengan gumaman lain, ‘oh itu…’

Nyonya Rosemary tersenyum. “Ternyata penyakit pikun sudah tak berbanding lurus dengan umur, ya?” tanyanya kemudian, menyindir. Sebelum ada satu pun yang menjawab, Nyonya Rosemary mengalihkan sindiran itu dengan berjalan keluar dan terlihat menjemput seseorang. “Mari masuk, Nak!”

Terlihat wanita dengan gaya pakaian ‘vintage elegan’ mengekor Nyonya Rosemary. Levine tertegun melihat kulit putih segar, bibir dengan polesan merah muda dan mata yang tak begitu lebar serta bulu matanya yang lentik. Terlihat sederhana dengan pesona yang mengagumkan.

“Mari perkenalkan, ini dia alumni yang saya janjikan. Namamu siapa?”

“Ehm… panggil saja Kleine. Salam kenal,” ucap wanita itu sambil membungkukan badan hingga kembali semula. “Di sini saya hanya akan mempresentasikan tentang tata cara penulisan karakter.”

“Okay, kalau begitu saya pamit ada urusan, saya serahkan semuanya pada Kleine,” sela Nyonya Rosemary sembari menepuk pundak Kleine dan berjalan meninggalkan kelas.

Ah, benar wajahnya yang kusam itu beralasan, berhubungan dengan janjinya, mungkin dia kelelahan hari ini. Ya sudah, yang terpenting janjinya telah ditepati. Tak hanya itu, alumni yang dihadirkannya pun menjadi bonus cuci mata.

Cuci mata?

Apa yang ia pikirkan? Bukan untuk itu! Kleine tak pantas dikatakan seperti itu. Lah, kenapa? Biasanya juga setiap ada wanita cantik, Levine langsung memiliki pemikiran itu. Aneh. Tapi memang ini kenyataan, rasanya Kleine memang tak seperti wanita-wanita lainnya. Entahlah, Levine bisa sangat yakin itu.

Pemikirannya terbuyarkan setelah wajah elok di depan kelas menyadarkannya dengan memenuhi bayangan dirinya pada bola mata Levine. Presentasi dimulai. Semua teman-teman sibuk dengan materi yang diberikan oleh Kleine, sedangkan Levine malah sibuk memandangi mata serta bibir yang bergerak hingga mengabaikan hasil gerakan bibir itu. Kleine, kau seperti bunga melati yang baru mekar, pikirnya antah berantah.

“Ada yang ingin ditanyakan?”

Gary Wijayasahabat Levine sejak kecil yang memiliki darah Indonesia - Spanyolmengacungkan telunjuknya. “Kau alumni, sudah berapa buku yang kau tulis?” tanyanya kemudian, seperti biasa, pertanyaan tak bermutu. Ia memang kadang menjengkelkan.

“Tiga buku…,”

“Cuma tiga? Alumni cuma punya tiga buku? Harusnya kau tak mengajar di sini. Lihat, temanku Levine sudah menulis lima buku, kau tak pantas mengajar!” sahut pedas Gary sembari menunjuk Levine, terdengar gila ucapannya itu. Ada apa dengannya?

Levine tersentak untuk kedua kalinya hari ini, ia merasa tak enak hati dengan Kleine. Keningnya berkerut setelah melihat telunjuk Gary yang mengarahnya. “Apa-apaan kau? Aneh sekali hari ini…”

“Dia tak pantas mengajar penulis seperti kita, Lev!”

“Siapa yang mengajar? Bukannya dia hanya memberikan presentasi?”

“Tidak, aku dengar dari Nyonya Rosemary bahwa Kleine akan mengajar kita satu minggu ini, kita dirugikan!”

Apa? Kleine mengajarnya selama seminggu? Gary sialan, dia bisa membuat Kleine memandang buruk kelas ini. Ini harus dihentikan, ia harus melakukan sesuatu. Ah iya…

“Okay, okay… Kita taruhan! Kita tantang Kleine untuk menulis dua novel dalam enam bulan, berani?” tantang Levine pada Gary, ia masih merasa tak enak hati dengan Kleine dan juga tak yakin dengan jangan keluarnya ini.

Gary tertawa dengan angkuh. “Aku yakin, tak akan selesai, kalau pun selesai juga tak bermutu hasilnya,” cibirnya kemudian. “How, Kleine?”

Sontak Levine mengalihkan pandangannya pada Gary menuju Kleine, ia mendapati wanita itu terlihat ragu-ragu dan masih malu. Seperti ingin mengucapkan sesuatu kemudian mengurungkan niatnya kembali. Dengan cekatan, Levine berjalan menuju Kleine. Terlihat dari belakang, Levine mengucapkan sesuatu lirih pada wanita itu yang tak terdengar oleh teman-temannya. “Bilang saja kau setuju.”

“Tapi…,” sahut Kleine lirih ragu-ragu.

“Aku kenal Gary dari kecil, dia memang menjengkelkan, butuh waktu lama untuk memahami karakternya. Sudah, lakukanlah… Yakin saja kau bisa, aku akan membantumu…,” sela Levine, ia berusaha menenangkan Kleine dan memberikan kepercayaan padanya.

Dari belakang, tiba-tiba Gary menepukkan tangannya tiga kali, mereka berdua tersentak. “Sudah diskusinya? Jadi, berani atau tidak?” tanyanya sembari tersenyum angkuh.

Saat Levine hendak menatap wanita itu kembali, nada sedikit tinggi wanita itu berhasil membuatnya tercengang. “Berani!” Akhirnya Kleine percaya padanya, cukup lega. Pertemuan dengan wanita ini sederhana, namun memiliki kisah berharga untuknya. Berharga? Ah, terlalu berlebihan.

***

Selama satu minggu Kleine mengajarnya, Levine merasakan kenyamanan untuk terus belajar menulis. Ini hari terakhirnya Kleine untuk masuk pada kelas itu dan Levine baru menyadarinya. Senyuman yang terus mengembang selama pelajaran yang diterangkan oleh Kleine, kini berubah menjadi kecut atas kesadarannya. Ia merasa Kleine terlalu cepat untuk mengajarnya di sini. Ia harus melakukan sesuatu, memutar otaknya kembali hingga bel tanda berakhirnya pelajaran pun berbunyi. Terlihat dan terdengar dari depan, Kleine berpamitan dan memohon maaf atas apa saja darinya untuk kelas selama ini. Anehnya, Gary tak menyinggung janjinya. Mungkin dia sedang malas berbicara, Levine tetap harus membantu Kleine menepati janjinya.

Levine berlari kecil menghampiri wanita itu yang sedang berjalan meninggalkan kelasnya. Ia menghentikan langkah Kleine dengan menepuk pundaknya. “Hei,” sapanya. “Terima kasih untuk wawasannya selama ini,” ucapnya canggung, memaksakan senyum.

“Tak perlu, itu sudah tugasku,” ucap Kleine sembari tersenyum ramah. Ah, gila senyum ini hadir di depan mata Levine. Melayang. Errrr… Gila kau, sadar! Memalukan.

Setelah berhasil mengontrol pikirannya, Levine kembali angkat bicara. “Masih berani, kan?” tanyanya, berniat mengingatkan tantangan itu.

“Mm? Oh…,” Terdengar secuil ucapan Kleine, sepertinya ia sendiri hampir lupa dan seketika mengingatnya kembali dan meneruskannya dengan anggukan kepala, menandakan bahwa Kleine masih mengingatnya.

Tanpa sadar Levine mengelus dada, lega. “Baguslah. Kau ada waktu malam ini?” tanyanya kemudian, Kleine hanya memandanginya ragu. “Ehm, maksudku… Aku ingin mengajakmu makan malam di restoran pamanku sekaligus membahas novel itu. Kau mau?” jelasnya kemudian, tentu saja Levine mengharapkan jawaban ‘iya’ dari Kleine.

“Di mana?”

“Oh, kemari…,” Levine menarik pelan lengan wanita itu hingga berjalan ke luar dari tempat kursus menulisnya. Langkahnya terhenti, tangannya yang masih menggengam lengan Kleine mulai melepaskannya dan menunjukkan suatu gerakan. “Di sana,” ucapnya sembari menunjuk restoran di sebrang tempatnya berdiri. Ia masih menunggu jawaban dari Kleine.

Tak ada jawaban iya, namun tetap membuat Levine seperti mendapatkan jawaban itu. Ternyata ia mendapati Kleine menganggukan kepalanya, terlihat penuh ambisi, namun entahlah jika hanya perasaan Levine saja.  Seketika Levine membayangkan apa yang akan terjadi nanti malam sembari mengantar Kleine mencarikan taksi.

“Serius tak mau kuantar pulang?”

“Terima kasih, itu sudah ada taksi,” tolak halus Kleine, masih dengan senyum ramahnya.
Peristiwa sopir membuka pintu taksi dan Kleine masuk sebagai penumpang hingga membuka sedikit jendela pada taksi itu sembari mengucapkan selamat tinggal dan sampai berjumpa nanti malam menjadi pertemuan terakhir pada siang itu. Sungguh tak menyangka, Levine bisa sedekat itu dengan wanita sederhana seperti Kleine. Sederhana di mata, sempurna di hati lebih tepatnya.

*

“Di mana Kleine? Apa ia melupakan janjinya?” gerutu Levine sembari mengaduk-aduk kopinya. Tak lama, ia meraih sesuatu dalam saku. “Astaga, aku lupa minta nomornya, bodoh!” sadar Levine, mengutuk dirinya sendiri.

Saat hendak mengaduk-aduk kopinya kembali, wanita yang membuatnya uring-uringan hadir di depannya. Astaga, sejak kapan Kleine berada di depannya? Kenapa seperti hantu begini? Gila, kalau dia tahu Levine sedang uring-uringan menunggu kedatangannya.

“Ehm… Hei, sudah datang sejak kapan?” ucapnya memperbaiki keadaan.

Sebentar, Kleine terlihat berbeda malam itu. Biasanya, ia selalu berpenampilan vintage, kali ini ia tampil beda dengan kacamata-nya. Ia terlihat seperti kutu buku, sejak kapan Kleine memakai kacamata? Baru kali ini terlihat seperti itu. Ah, penampilan saja pakai dipikirkan, memang dasar ribetnya dirimu, Levine.
“Hai…,” sapa Kleine, canggung. Aneh. “Oh, baru saja. Boleh aku duduk?”

Levine terlihat bodoh setelah sadar ia belum mempersilakan wanita itu untuk duduk, salah tingkah hasilnya. “Eh… eh… iya, duh lupa… Silakan duduk, Kleine…,” ucapnya sembari melayani Kleine untuk menghadapkan kursinya hingga mempersilakan duduk.

“Mau minum apa?”

“Avocado Float.”

Tangan Levine melambai, memanggil pelayan, kemudian memesankan minuman itu untuk Levine. Ia masih terlihat seperti budak malam ini. Tak apalah.

“Jadi bagaimana?”

“Apanya?”

“Lah, novel itu…”

“Mm, ohh…”

Mereka telah menemukan topik untu perbincangan sekarang. Sebagai penulis, mereka tak akan pernah bosan apabila membahas tentang tulis menulis. Hingga mulutnya kering pun tak terasa mungkin. Wajar saja, jika membahas suatu cerita, penulis seperti memasuki semesta yang ia ciptakan sendiri. Bagaimana tidak betah? Nyatanya, sudah berjam-jam mereka mengoceh hingga lupa waktu. Akhirnya, tepat dua jam berlalu, Levine menemukan kesimpulan. Hingga mereka mendapatkan apa yang dicarinya. Sebuah alur novel lengkap dengan ending sudah menancap pada otak mereka sekarang.

Di sisi lain, Levine mendapatkan suatu perbedaan selama dua jam itu. Ia merasa seperti tak berbicara dengan penulis melainkan pendengar. Malam ini, Kleine cukup pendiam. Wanita itu hanya mengomentari sedikit alur yang Levine jelaskan. Tak seharusnya alumni kelas menulis seperti itu. Mungkin Kleine sedang tak enak badan, terlihat semenjak pertama datang hingga sekarang ia terlihat tak nyaman duduk bersama Levine.

“Kau kosong lagi kapan?”

Kleine terkesiap mendengar pertanyaan itu. “Ehm… tak tau,” ucapnya. “Levine…,” panggilnya secara tiba-tiba. “Aku akan pergi ke Jerman besok pagi,” ucapnya kembali.

Tercengang. Itulah yang dirasakan Levine sekarang. Jantungnya seperti berhenti berdetak. “Kau bercanda, kan?”

“Tidak, aku pergi ke sana enam bulan karena ada project mendadak dengan teman-temanku, aku tak bisa menolaknya, semoga kau paham itu…,”

Mulutnya masih kaku, hingga akhirnya Levine membiarkan Kleine pergi, walaupun wanita sempat mengucapkan janjinya untuk menyelesaikan novel itu dan menemuinya di tempat ini. Selesai sudah pertemuan bahagia yang dengan akhir sesal.

*

Enam bulan berlalu, pertemuan itu menyimpan rasa haru yang terpaksa untuk disembunyikan. Levine terlihat sangat berambisi, ia juga mengatakan pada Kleine bahwa Gary sudah melupakan hal janji itu. Ia tahu, karena Gary sudah pindah rumah dan sudah tak berhubungan lagi dengannya. Namun, Levine yang akan menagihnya, ia malah merasa itu menjadi janji Kleine padanya. Seketika, Kleine terdiam, ia menyuruh Levine mengantarnya pulang, pasti ada sesuatu.

Benar, tepat di depan rumah wanita itu, Levine mendapati air mata yang jatuh dari mata Kleine. Ia kebingungan, sebenarnya ada apa? Apa yang terjadi padanya? Kenapa ia kikuk seperti ini, hanya bisa menepuk-epuk kecil punggung Kleine dan memeluknya.

“Levine…,” ucap Kleine dalam tangisnya.

Levine sontak melepaskan pelukan itu perlahan, kemudian menatap mata Kleine yang terus bercucuran air mata. Tak jarang ia menghapus air mata itu.

“Kau tahu, wanita penulis yang menjadi gurumu saat itu sebenarnya bukan aku,” ucap Kleine kembali masih dalam tangisnya.

“Apa maksudmu?”

“Kleine itu benar-benar namaku, namun aku bukan wanita yang menyebut diriku dengan nama itu pertama kali di depan kelasmu,” jelas Kleine, masih ambigu.

“Hah? Lantas?”

“Aku punya kembaran, ia mengidap penyakit Sindrom Kleine-Levin, kau tau?”

Kening Levine mengerut, ia tak memiliki wawasan luas tentang jenis-jenis penyakit, apalagi namanya bisa kebetulan seperti itu, seperti penyakit rekayasa baginya. “Tak tau, bisa kau jelaskan?”

Penyakit syaraf langka dimana penderita tidak bisa mengontrol rasa kantuknya. Penderita bisa tertidur selama berjam-jam, berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan bisa berbulan-bulan, tergantung pada berapa lama penyakit itu muncul atau kambuh. Satu penjelasan itu masuk dalam otak Levine, wawasan bertambah bersamaan rasa sakit hatinya yang hadir saat itu juga.

“Nama aslinya Cleo, dia masih dirawat di Jerman saat ini, bersama temanmu yang mungkin kau tak akan percaya bila dia kekasihnya,” ucap Kleine kembali, kali ini membuat Levine penasaran.

“Siapa?”

“Gary Wijaya.”

Terkutuk. Otaknya semakin gila, berbagai perasaan bercampur aduk saat itu juga. Ia tak paham dengan dirinya sendiri. Ya Tuhan, ia mengharapkan ini hanya mimpi atau skenario film. Ah, Levine belum bisa menerima kenyataan begitu saja. Semua butuh proses.

“Dan kau tahu, mengapa Gary menantang Cleo saat itu? Cleo yang menyuruhnya. Sebenarnya Cleo tak ingin mengajar kelas itu, ia takut penyakit itu datang secara tiba-tiba. Akhirnya, kau malah menghambat, untungnya semua berjalan bersih hingga penyakit itu datang kembali tepat waktu.”

Baru kali ini Levine selemah itu. Ia mendapati air matanya yang tak tertahankan, jatuh melinangi pipinya perlahan. Memalukan, kutuknya. “Andaikan dia tak tertutup dan andaikan aku tahu dari awal, aku tak akan menyentuhnya. Mungkin saat ini aku terlanjur mencintainya…,” ucapnya secara tiba-tiba dan tanpa sadar.

Dan tiba-tiba…

“Andaikan tak berakhir dengan kata ‘andaikan’, aku juga mencintaimu, Levine…,” suara lirih itu muncul dari belakang Levine, wanita yang sama persis dengan wanita di depannya. Hampir tak ada yang membedakan.

“Cleo…” ucap Kleine dan Levine secara bersamaan, matanya terbelalak melihat seseorang yang sedang dibicarakan.

“Aku sudah di sini sekarang, maaf telah berbohong kepadamu, aku hanya tak ingin orang lain mengetahui tentang penyakit ini,” ucap Cleo. “Dan tentang nama itu, aku suka jika dipanggil seperti nama kakakku, hal itu yang bisa membuatku tak takut menghadapi penyakitku yang bernama sama juga.”

Serontak, Levine memeluk erat Cleo. “Aku paham itu, aku merindukanmu…,” bisiknya. “Dimana Gary?” tanyanya kemudian.

“Aku sudah memutuskan untuk tak berhubungan kembali dengan orang lain, penyakit ini tak akan membuat kekasihku bahagia…,” jelas Kleine sembari melepaskan pelukan itu perlahan. Terlihat ia sibuk mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Buku tebal digenggamnya sekarang. “Maaf aku hanya bisa menepati satu janjiku,” ucapnya kemudian sembari menunjukkan buku itu pada Levine.

“Enam ratus halaman lebih? Ini sudah termasuk total halaman dua buku biasa. Lantas, kapan kau bisa menulis semua ini?”

Cleo hanya tersenyum. “Sudah kutulis sejak dulu, tapi aku tahu penutupnya, hingga kau hadir menjadi sebuah penutup dalam buku ini. Butuh waktu sebulan saja untuk menuliskannya kembali dengan rapi.”

Levine hanya bisa terkagum-kagum dengan penulis di depannya. Beberapa detik ia memandangi buku dengan judul ‘Kleine-Levine’ pada genggamannya. Hingga kembali lagi menatap mata yang selalu membuatnya rindu pada sosok Kleine di kelasnya waktu itu. Serontak, wajahnya mendekat pada wanita itu, hingga Cleo membiarkan Levine mengecup hangat bibirnya. Selamat telah sembuh dari penyakit aneh itu, Cleo!


- THE END -